Hukum Oral Seks
Mengenai hukum oral seks, beberapa pendapat yang mu’tabar (teranggap/diakui) di antara para ulama: (1) Haram total; karena hal ini menyerupai hewan dan mulut adalah tempat yang bersih dan mulia seperti tempat makan, tempat berzikir, dan berkata-kata yang baik, (2) Hukumnya boleh/mubah; dengan syarat tidak terkena madzi. Madzi hukumnya najis, maka dibersihkan dahulu karena keluar ketika awal bercumbu atau ketika terangsang. Berikut ini pembahasannya.
Pertama: pendapat yang menyatakan haram total
Ada beberapa alasan ulama yang melarang oral seks, yaitu:
1. Sulitnya menghindari najis pada oral seks, yaitu madzi dan sisa air kencing pada kemaluan istri.
2. Menyerupai hewan dan tasyabbuh dengan perbuatan orang-orang kafir, terutama pelacur dan bintang porno.
3. Mulut adalah tempat mulia yang digunakan untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, membaca Al-Qur’an dan tempat makan dan minum yang bersih dan berkah.
4. Oral seks akan mengantarkan pada fanstasi lainnya yang tidak sesuai fitrah seperti seks dengan kekerasan, seks pada dubur, dan lain-lain.
5. Beberapa ulama yang mengharamkan oral seks di antaranya Syaikh Al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, dan Syaikh Masyhur Al-Salman.
Baca Juga: Hukum Onani Menggunakan Tangan Istri
Kedua: Pendapat yang membolehkan
Ada beberapa alasan ulama yang membolehkan, di antaranya sebagai berikut:
Alasan pertama
Alasan pertama istri dimisalkan tempat sebagai bercocok tanam, suami bebas menikmati istri, asalkan bukan di duburnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (QS. Al-Baqarah: 223).
Alasan kedua
Alasan kedua hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum. Dalam hadis tersebut menyatakan boleh menikmati istri dengan cara apapun, kecuali jimak pada saat haid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu kecuali menjimak kemaluan (yang lagi haid)” (HR Muslim no. 302).
Hal ini bisa saja menunjukkan bolehnya oral seks ketika istri sedang haid.
Alasan ketiga
Alasan ketiga, para ulama telah menyebut hal ini dalam beberapa kitab mereka dan tidak disebutkan adanya larangan. Semisal ucapan Imam Asy Syafi’i Rahimahullah,
لم يوجب ذلك غسلاً ، ولا نوجب الغُسل إلا أن يغيبه فى الفرج نفسه ، أو الدبر . فأما الفم ، أو غير ذلك من جسدها فلا يوجب غسلاً إذا لم ينزل
“Kami tidak mewajibkan mandi janabah (mandi wajib) kecuali apabila ia memasukkan dzakarnya ke kemaluan istrinya atau duburnya. Adapun mulut (istrinya) dan bagian tubuh istrinya yang lainnya, maka tidak mewajibkan mandi janabah, jika tidak mengeluarkan air mani.” (Al-Umm, 2: 81)
Alasan keempat
Alasan keempat, sebagian ulama ada yang membolehkan mencium kemaluan istri, yaitu menghisap biji kemaluan wanita. Demikian juga dengan istri, maka boleh sebaliknya.
Seorang ulama mazhab Syafi’i, yaitu Al-Maliaariy Al-Fananiy Rahimahullah berkata,
يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها
“Boleh bagi seorang suami menikmati istrinya dengan berbagai cara kecuali lingkaran duburnya, bahkan (boleh menikmati istrinya) meskipun mengisap kiltorisnya” (Fathul Mu’in bi Syarh Qurratil ‘Ain, hal. 482).
Alasan kelima
Alasan kelima, sebagian ulama membolehkan menghisap dan mencium apabila sebelum mulai jimak, karena belum keluar madzi dan belum bercampur dengan cairan farji. Boleh dilakukan dengan cara membersihkan dahulu dari madzi yang keluar.
Dalam fatwa Asy-Syabakah Islamiyyah disebutkan bahwa bolehnya mencium farji sebelum jimak dan makruh hukumnya setelah jimak,
وقد نص الحنابلة رحمهم الله على إباحة تقبيل فرج الزوجة قبل الجماع وكراهته بعده
“Ulama Hanabilah rahimahullah membolehkan mencium farji istri sebelum jimak dan makruh hukumnya setelah jimak.” (Fatwa no. 50708)
Demikian beberapa pendapat ulama yang kami paparkan dengan dalil-dalil mereka. Adapun pendapat yang rajih, kami belum bisa merajihkan (memilih mana yang pendapat yang lebih kuat). Dan setahu kami, ini adalah ikhtilaf mu’tabar, yaitu perbedaan pendapat ulama yang diakui dan kita berlapang-lapang dalam hal ini. Wallahu Ta’ala a’lam.
Demikian, semoga bermanfaat.
Baca Juga:
@ Lombok, Pulau Seribu Masjid
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id
Artikel asli: https://muslim.or.id/60210-hukum-oral-seks.html